Blue Orange Green Pink Purple

Secarik Kertas, Sepatah Kata, Sebening Hati

"Obatmu Terdapat Dalam Dirimu, Namun Kamu Tidak Menyadarinya. Penawarmu Berasal Dari Dirimu, Namun Kamu Tidak Mengetahuinya. Engkau Mengira Dirimu Satu Benda Yang Kecil, Padahal Dalam Dirimu Terdapat Alam Yang Besar." [ Ali bin Abi Thalib ] Ar Ruhul Istijabah (“Semangat Menyambut Panggilan Da’wah”)

"Kisah Indah Sang Khalifah"

Siang di bumi Madinah, suatu hari. Matahari tengah benderang.

Teriknya sungguh garang menyapa hampir setiap jengkal kota dan pepasir lembah. Jalanan senyap, orang-orang lebih memilih istirahat di dalam rumah daripada bepergian dan melakukan perniagaan. Namun tidak baginya, lelaki tegap, berwajah teduh dan mengenakan jubah yang sederhana itu berjalan menyusuri lorong-lorong kota sendirian. Ia tidak peduli dengan panas yang menyengat. Ia tak terganggu dengan debu-debu yang naik ke udara. Ia terus saja bersemangat mengayun langkah. Sesekali ekor matanya berkerling ke sana ke mari seperti tengah mengawasi. Hatinya lega, ketika daerah yang dilewatinya sentosa seperti kemarin.

Hingga ketika ia melewati salah satu halaman rumah seorang penduduk, tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada anak kecil di sana. Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia seperti mendengar suara lirih cericit burung. Perlahan ia mendatanginya dan dengan lembut ia menyapa bocah laki-laki yang tengah asyik bermain.

"Nak, apa yang berada di tanganmu itu?" Wajah si kecil mendongak, hanya sekilas dan menjawab.

"Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung," polosnya ringan. Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, "Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika mahluk kecil ini teraniaya."

"Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin memilikinya," suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata, "Baiklah paman," maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang, "Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah...terbanglah..."

Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. "Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burung mu itu? Tahukah engkau siapa lelaki mulia yang kemudian membebaskan burung itu ke angkasa? Dialah Khalifah Umar nak..."

***
Malam-malam di kota Madinah, suatu hari.

Masih seperti malam-malam sebelumnya, ia mengendap berjalan keluar dari rumah petak sederhana. Masih seperti malam kemarin, ia sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti nafasnya sendiri. Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menyulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Tak ingin malam ini terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada bala. Maka ia bertekad malam ini untuk berpatroli lagi.

Madinah sudah tersusuri, malam sudah hampir di puncak. Angkasa bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia mendongak melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Maka ia pun tersenyum seperti terhibur dan memuja pencipta. Tak terasa Madinah sudah ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota. Dan langkahnya terhenti ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah pelita.

"Assalamu'alaikum wahai fulan," ia menegur lelaki ini dengan santun.

"Apakah yang engkau lakukan malam-malam begini sendirian," tambahnya. Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan tersendat lelaki itu memberitahu bahwa istrinya akan melahirkan. Lelaki itu bingung karena di sana tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya.

Setengah berlari maka ia pun pergi, menuju rumah sederhananya yang masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan agar ia membeli sandal yang baru.

"Umm Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malam ini," Ia membangunkan istrinya dengan nafas tersengal. Sosok perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini ia tak lagi sendiri berlari. Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan rahmah hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan.

Umm Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha Besar, suara tangis bayi singgah di telinga. Ibunya selamat. Lelaki itu bersujud mencium tanah dan kemudian menghampirinya sambil berkata, "Siapakah engkau, yang begitu mulia menolong kami?"

Lelaki ini tidak perlu memberikan jawaban karena suara Ummi Kultsum saat itu memenuhi lengang udara, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkan selamat kepada tuan rumah, telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah."

***
Sahabat, betapa terpesona, mengenang kisah indah Khalifah Umar bin Khatab. Ia adalah seorang pemimpin negara, tapi sejarah mengabadikan kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia adalah orang yang paling berkuasa, tapi lembaran kisah hidupnya begitu penuh kerja keras dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Ia adalah orang nomor satu tapi siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal. Ia seorang penyayang meski kepada seekor burung. Ia sanggup berlari tanpa henti demi menolong seorang perempuan tak dikenal yang akan melahirkan. Dan ia melakukannya sendiri. Ia melakukannya sendiri.
***
Sahabatku Tercinta, Husnul Mubarikah ...

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Sandal Jepit dan Peci"

Suatu malam, saat semua penghuni rumah sudah terlelap. Sandal jepit yang berada di luar rumah menggigil kedinginan. Tak pernah sekalipun ia diajak masuk oleh si empunya. Dengan tubuh kotor penuh debu, kadang lumpur, ia selalu dibiarkan tergeletak di depan. Rupanya, keluhan itu sempat di dengar oleh Peci yang tergantung di paku di dinding ruang tamu. Melihat rekannya yang berada diluar, Peci hanya tersenyum penuh kemenangan dan pura-pura tertidur tak mempedulikan Sandal Jepit yang mulai menangis.

Dalam batinnya, Sandal berkata, sungguh enak menjadi Peci. Ia selalu ditempatkan diatas, dipakai atau tidak, tak pernah ia berada dibawah. Lain halnya dengan dirinya, dipakai terinjak-injak, tak dipakai tetap tersingkir di pojokkan, ditanah atau dilantai dingin. Setiap kali hendak digunakan, tuan pemilik selalu membersihkan Peci, tak satupun debu dibiarkan hinggap, dan sepulang diajak pergi, kembali dibersihkan dan diletakkan kembali ke tempat yang lebih terhormat, jika tidak diatas lemari, didalam lemari, diatas buffet, paling rendah tergantung di dinding. Berbeda dengan nasib Sandal Jepit, dipakai tak pernah dibersihkan, sepulangnya semakin tak dipedulikan sekotor apapun, mulai dari debu, sampai kotoran dengan aroma bau yang tak sedap.

Kalaupun diajak pergi, Sandal tak pernah ke tempat yang bersih, ke pasar, ke kebun, lapangan, atau ke toilet. Jelas saja, tuan pemilik akan lebih memilih sepatu atau sendal kulit untuk ke Mall, ke pesta, atau ke tempat-tempat yang memang bukan tempatnya Sandal berada disana. Tapi, Sandal juga dipakai jika tuan pemilik hendak ke Masjid. Entah ini penghormatan atau sebaliknya buat Sandal Jepit karena jika nanti di Masjid ia harus berpindah kaki dengan orang lain alias hilang, toh tuan pemilik hanya berpikir, ”Untung cuma Sandal Jepit”. Sedangkan Peci, selalu dipakai ke tempat kondangan, bahkan para pemimpin negeri, pejabat-pejabat penting negara ini wajib menggunakan Peci saat pelantikan dan acara-acara resmi, acara kehormatan kenegaraan.

Peci hampir tak pernah dipinjamkan kepada tuan yang lain, karena biasanya masing-masing sudah memiliki. Tapi Sandal, sekalipun ada beberapa, tak pernah ia diberikan kehormatan untuk mengabdi pada satu tuannya saja. Ia bisa dipakai tuan istri, tuan anak, atau juga pembantu. Tidak jarang, ia dipinjamkan juga ke tetangga, atau teman tuan anak. Kalaupun usang dan berubah warna, Peci biasanya tak pernah dibuang. Disimpan dalam kardus di gudang dengan rapih, atau paling mungkin diberikan kepada anak-anak yatim atau siapa saja yang membutuhkannya. Intinya, masih bernilai paskaguna. Sandal Jepit? Jelek sedikit diganti, apalagi kalau sudah putus talinya, tidak ada tempat yang paling pas kecuali tong sampah. Terkadang, ia juga harus merasakan kepedihan jika tubuhnya harus dipotong-potong untuk pengganti rem blong, atau dibuat ban mobil-mobilan mainan anak-anak.

Tapi Sandal tetap menyadari status dan perannya sebagai Sandal yang akan selalu terinjak-injak, kotor, dan tak pernah diatas. Sandal tak pernah iri dengan peran peci. Terlebih saat tuan pemilik berhadapan dengan Tuhannya, dan ditanya; “Mana dari dua barang milikmu yang paling sering kau gunakan, paling bermanfaat, Sandal Jepit atau Peci, yang akan kau bawa bersamamu ke surga?” Dengan mantap tuan pemilik menyebut Sandal Jepit jauh lebih memberikan manfaat baginya.

***

Saudaraku, tak penting apa status, peran dan fungsi Anda di dunia ini, karena Allah, Rasul dan manusia beriman tak melihat Anda dari pakaian yang dikenakan, jabatan yang tersemat, dan kehormatan yang disandang, tapi seberapa bermanfaatnya Anda bagi orang lain dengan status dan peran Anda tersebut. Jika demikian, bukan hal penting untuk mempertanyakan status dan jabatan penting apa yang akan kita sandang saat ini dan nanti, tetapi terpenting adalah mempertanyakan, seberapa bisa kita berbuat baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Wallahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gautama)
***
Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

(Cuma) Sekantong Gorengan ...

Seorang anak belasan tahun terduduk lemas di bawah pohon di pinggiran jalan. Matanya yang sayu tampak tengah mengamati antrian mobil di sepanjang jalan Wijaya, Jakarta Selatan. "Mobil-mobil mewah" pikirnya. Sejenak kuperhatikan matanya menerawang entah apa yang dipikirkannya, namun yang kutahu pasti ia sangat lelah. Itu bisa bisa dilihat dari seikat sapu lidi yang bertengger bersama tubuhnya di pohon rindang, juga seonggok sampah dalam sebuah keranjang besar. Kutahu, ia seorang penyapu jalanan yang setiap pagi tak pernah absen mengukur jalanan kota.

Tak kuasa rasanya kaki ini terus melangkah tanpa berhenti menyapanya. Matanya yang sayu namun tajam itu seperti menusuk hati ini dan memaku kuat kaki-kaki ini untuk tak terus berlalu. Bukan, bukan mobil-mobil mewah itu yang membuatnya menerawang, aku yakin, itu hanya pelampiasan satu rasa yang sampai pagi ini ditahannya. Dan kini, dari matanya, juga gerak lemah tubuhnya, aku bisa menangkap rasa yang tertahan itu.

"Sudah makan dik?" sapaku dengan senyum yang kupaksakan semoga menjadi yang termanis agar ia tak merasa sungkan atau takut.

"Belum ..." Benar dugaanku. Tubuhnya bergerak sedikit bergeser semakin merapat dengan pohon, namun matanya terus mengira-ngira siapa gerangan yang menyapanya. "Ini, ambillah ..." sebungkus gorengan yang baru saja kubeli di Prapatan dekat lampu merah serta sebotol Aqua langsung menjadi miliknya. Seperti menggotong gunung terbesar di dunia rasanya jika aku terus mendekap makanan kecil tersebut tanpa peduli rasa lapar yang ditahan anak itu.

"Nggak ... nggak usah ..." duh, ingin sekali hati ini menangis. Sudah pasti kutahu ia sangat lapar, tapi kenapa masih menolak pemberianku. Hmm, mungkin senyumku kurang manis, atau bisa jadi ia masih menangkap kekurang-ikhlasanku menyerahkan sarapan pagiku kepadanya. Bisa saja, mata hatinya merasai beratnya tangan ini saat terhulur bersama bungkusanku. Bukan tidak mungkin ia mampu melihat lebih dalam niat yang tersembul bersamaan dengan uluran tangan ini, yakni sekedar ingin mendapatkan pujian atau perhatian dari sekeliling.

Ah tidak. Takkan kubiarkan itu terjadi. Kulatih wajah dan bibirku untuk bisa memancarkan senyum terindah yang menyejukkan. Kurangkai betul-betul kalimat yang semestinya keluar dari mulut ini agar tak menakutkannya lagi, dan kuayun-ayunkan tangan ini seperti senam kesegaran jasmani yang entah sudah berapa tahun tak pernah kulakukan lagi, agar tangan ini begitu ringan saat terhulur. Ahaaa ... hatiku berteriak, mungkin karena sudah lama aku tak melakukan senam, sehingga tangan ini semuanya menjadi kaku. Tapi ... bukan, bersedekah itu tidak ada kaitannya dengan rajin senam, olahraga, apalagi angkat berat. Berarti, untuk apa juga kulatih wajah dan bibirku tadi, dan bersusah payah merangkai kata layaknyak seorang pujangga tengah menyusun syair keagungan hanya sekedar untuk menyodorkan sedekah.

"Ayo ... ambil saja ..." kali ini benar-benar kuperbaiki senyumku, juga uluran tangan yang lebih ringan. Tentu saja tanpa melakukan latihan-latihan terlebih dahulu. Karena ini sekedar mengulang satu hal yang sudah lama tak kulakukan. Ya! ... hatiku berteriak lagi.

Kutemukan jawabannya. Masalahnya bukan soal wajah dan senyumku yang harus dipaksakan semanis-manisnya, atau sudah sekian lamanya tak bersenam tangan. Sesungguhnya, diri ini sudah lama tak merasai duduk bersama, makan bersama dan berbagi dengan mereka, anak-anak yatim, fakir miskin, orang-orang yang lemah. Tangan ini sudah lama tak terhulur untuk mereka, bahkan seringkali wajah dan pandangan ini berpaling dari hentakan-hentakan kaki lapar mereka, juga erangan penderitaan yang semestinya memekakkan telinga ini.

Kuulangi tawaranku, tapi kali ini sambil duduk disampingnya. Kalau saja pohon itu cukup untuk berbagi sandaran, tentu aku akan bersandar pula dengannya, sekedar untuk membuatnya nyaman, bahwa aku adalah dia, dia adalah bagian dari aku. Itu saja intinya. Untungnya, pohon itu terlalu kecil untuk tempat berbagi, karena sesungguhnya, saat ini aku tidak lebih membutuhkan sandaran itu. Cukuplah itu untuknya, aku tak ingin merebut lahan kesejukannya. Mungkin saja, selama ini hanya pohon itulah tempatnya bersandar, memperdengarkan keluhannya, menempelkan peluhnya, dan sesekali menjadi bantal tidurnya.

Ia sangat tahu, seandainya pohon itu memiliki tangan, pastilah kehangatan pelukannya senantiasa dirasai. Tapi bukankah Tangan-Tangan Allah bertebaran dimana-mana? Saya yakin, keyakinan itulah yang menjadikannya terus bersandar di pohon ciptaan Allah itu, karena ia tahu, kapanpun, dimanapun ia memasrahkan diri, Allah selalu disana. Bersama orang-orang yang lemah, memeluk anak-anak yatim, dan sangat dekat dengan fakir miskin. Tanganku masih terhulur. Ia tak segera menyambutnya. Hanya keraguan yang menyemburat dari wajahnya.

"Kalau saya ambil ini, mas makan apa?" Degg. Kali ini aku tak ingin menangis. Ingin sekali kupeluk dia. Aneh rasanya, di zaman seperti ini, saat banyak orang tak peduli lagi dengan kepentingan orang lainnya, diwaktu manusia yang satu menginjak manusia yang lainnya untuk kepentingan pemuasan perutnya sendiri, dikala semakin punahnya orang-orang yang mau memikirkan nasib orang lain. Eh, anak ini, yang aku ikhlaskan sarapan pagiku karena aku masih bisa membelinya lagi, malah berbalik memikirkan 'nasib'ku. "mas makan apa?" terbayang nggak sih ...

"Sudah ... saya bisa beli lagi. Ini buat adik," Senyum diwajahnya memancarkan rasa syukur yang tak tergambarkan, meski hanya sekantong gorengan dan sebotol Aqua. Tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia menyambut hangat tanganku.

"Aku yang berterima kasih sama kamu dik. Kalau kamu tidak menerimanya, entah kapan lagi kesempatan terbaik ini datang lagi kepadaku. Mungkin tangan ini akan semakin kaku sehingga semakin sulit terhulur. Wajah dan pandangan ini bahkan bukan lagi sekedar berpaling saat kehadiranmu, tapi justru tak lagi melihat meski tangismu bagai halilintar didepan hidungku. Kaki-kaki ini tak lagi berhenti untuk sekedar mencari tahu, apa yang tengah terjadi denganmu hari ini. Dan tak ada lagi senyum keikhlasan dari hati ini untuk bisa duduk bersama denganmu". Aku teruskan langkahku tanpa menoleh kebelakang, ungkapan rasa syukurku terus terngiang mengiringi kelegaan dada yang tiba-tiba saja kurasakan, entah karena apa.

Bayu Gautama, 12/03/2003

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Hidup Bagai Dikejar Seekor Singa"

oleh Elfarouq Kamis, 23/07/2009 14:03 WIB
-------------------------------------------------------
Bang kabir, begitu dia biasa dipanggil. Suatu hari dia bercerita di kamarku disela – sela obrolan ringan seputar kehidupan dan bagaimana agar kita saling mengingatkan dalam hal shalat berjama’ah dan ibadah lainnya. Tiba – tiba beliau berkata :
“ kamu tau wan, ada sebuah cerita yang dulu pernah disampaikan oleh guru saya ketika saya mengikuti pengajiannya di salah satu mesjid di desa saya. “
“ gimana bang “ tanyaku heran

“ kita itu hidup di dunia ini bagaikan seorang pemuda yang sedang di kejar singa buas di tengah – tengah hutan belantara. Kemanapun kita lari si singa ini terus mengejar kita, tidak pernah mengenal lelah. Untuk mula – mula boleh lah si pemuda masih kencang larinya, tapi setelah lima jam kemudian apa yang dia rasakan? Tentu kelelahan kan.

Di tengah – tengah kelelahan itu dia sampai ke pinggiran hutan dan si singa masih saja mengejar dia seakan tidak pernah lelah. sekitar tiga puluh kilo meter lagi si singa di belakan dia, tiba – tiba si pemuda menemukan sebuah sumur tua di bawah pohon beringin rindang dengan akar yang menjalar ke mana – mana termasuk ke dalam sumur tersebut.


Tanpa berfikir panjang si pemuda yang sedang ketakutan ini turun ke dalam sumur setelah melihat ada tangga tua yang menjulur ke dasar. Setengah tergopoh dia mencoba turun ke bawah karena takut terkejar oleh sang singa. Tepat di pertangahan tangga yang sudah sangat rapuh itu dia baru dapat menghela nafas agak lega.

Di atas terlihat wajah kepala seekor singa sedang menunggunya keluar. Tanpa disadari tangga yang dia pijak sebenarnya sudah sangat rapuh. Sedikit sja badanya condong ke tengah tangga akan segera roboh. Di bawah sumur tua itu, lagi – lagi tanpa ia sadari terdapat banyak hewan berbisa seperti ular, kalajengking, bahkan mungkin buaya juga ada.

Sehari, dia masih bisa tetap bertahan tanpa makan dan tanpa banyak bergerak. Setelah beberapa hari dia mulai kelaparan dan berusaha mencari apa saja yang bisa dimakan. Tepat di tengah sumur yang nampak ada beberapa tetesan yang jatuh air dari atas pohon yang penuh akar itu. Dia mencoba meraih tetesan demi tetesan yang jatuh ke bawh itu. Pertama dia julurkan tangan kanannya ke tengah demi meraih tetesan air itu, tapi sangat disayangkan dia hanya mendapatkan satu tetesan saja. Untuk mendapatkan lebih banyak dia harus menjulurkan tangannya sedikit lebih panjang ke tengah. Setelah dia minum tetesan itu, alangkah terkejutnya ia karena ternyata itu adalah tetesan dari sarang lebah yang berada tepat di atas lubang sumur tua itu. Ya, tetesan itu adalah air madu yang sangat lezat. Dia mulai kegirangan dan berusaha sebisanya untuk mendapatkan tetesan madu itu lebih banyak lagi.

Dia mencoba menggunakan dedaunan di sampingnya, semakin banyak dia dapatkan semakin brtambah pula ia ingin mendapatkan madu agar lebih banyak lagi. Akhirnya dia mencoba untuk meraup tetesan itu tidak hanya dari satu, dua tetesan saja melainkan beberapa tetesan lain yang sekiranya dapat memuaskan nafsunya.

Dengan sedikit mencondngkan badannya ke tengah ia lupa kalau tangga tempat ia berpijak sudah sangat rapuh. Semakin ia mencondongkan badannya sembari menjulurkan tangn kana untuk mendapatkan hasil lebih banyak, tiba – tiba tangga yang ia pijak patah hingga tak terelakkan. Diapun terjatuh ke dasar sumur yang penuh dengan berbagai macam hewan berbisa itu. Dalam kepengapan sumur tua itu terdengarlah sorak – sorai beberapa suara binatang yang entah apa itu, seakan mereka sedang merayakan makanan idul fithri yang sangat dinanti – nantikan. Ya, ia kini menjadi santapan hewan – hewan kelaparan di dasar sumur.”

Mari kita sama – sama renungkan kisah diatas dengan segala kesadaran dan hati terbuka. Siapa sebenarnya singa yang siap menerkam kita setiap saat, apa perumpamaaan sebuah tangga dan air madu yang turun dari atas pohon itu, apa pula hewan – hewan berbisa yang sedang menunggu sang pemuda malang di dasar sumur itu..? sekarang mari kita cermati.

Singa buas yang siap memangsa kita tidak lain adalah Izrail, sang malaikat pencabut nyawa. Dia yang senantiasa mengikuti kita ke manapun kita berada, di manapun. Tidak melihat jabatan, kekuasaan, harta, dan kesiapan kita. Begitu dapat perintah dari sang kuasa dia hanya menjalankan tugas untuk menarik nyawa kita ke alam ke dua yang lebih langgeng dari alam pertama yang fana ini.
Si pemuda yang sedang dikejar singa tidak lain dan sudah kita maklum bersama adalah diri kita masing – masing. Kita harus sadar dengna intaian dia. Jangan sampai lalai dan lupa, karena kalau tidak dia akan segera menerkam kita tanpa ampun. Di manapun kita berada jangan sampai kita melupakan intaian berebahaya ini. Ingatlah ia selalu agar kita lebih bersemangat dalam mengumpulkan bekal untuk pulang nanti.

Sumur dan tangga yang menjadi tempat pijakkan kita adalah umur kita yang tidak kita ketahui kapan akan kembali ke pangkuannya. Umur yang yang sangat rapuh ini akan berkurang dari hari ke harinya, maka dari itu jangan sampai kita lalai dalam mengumpulkan bekal dan beramal saleh. Di atas umur yang sangat rentan ini kita dituntut agar bisa memanfaatkannya sebaik – baiknya.
Tetesan air madu yang melenakan itu, tidak ayal lagi adalah sifat dari dunia yang memang sangat indah dan melenakan kita. Nafsu hanya akan terbawa oleh keindahannya jika tidak diatur oleh kontrol iman yang benar. Karena sifat dunia itu sendiri. Semakin dalam kita teguk airnya semakin haus kita dibuatnya. Seakan dunia ini tidak ada akhirnya sampai kita lupa akan intaian singa dan kerapuhan umur kita.

Janganlah kita sampai terlena dengna keindahan dunia beserta pernak – perniknya. Ingatlah sabda Nabi :” dunia ini sangat manis dan sangat indah sekali, dan Allah telah menitipkannya kepada kalian. Maka dia akan melihat apa yang akan lengkau kerjakan “

Dalam al – Quran banyak firman Allah yang mengingatkan akan kenikmatan dunia dan bahwa ia tidak lain hanya permainan saja. Diantaranya :
“ dan apalah kehidupan dunia ini kecuali permainan yang melenakan “
“ sesungguhnya hidup ini tidak lain adalah perhiasan dunia saja “

Masih banyak ayat – ayat lain yang mengingatkan kita akan kefanaan dan kefatamorganaan kehidupan dunia ini.
Semoga dengan kisah singkat ini kita bisa mengambil ‘ibrah dan pelajaran untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengerjakan amal saleh dan mengumpulkan bekal untuk persiapan di kehidupan kedua yang lebih kekal dan lebih indah dari kehidupan yang sedang kita jalani ini. Semoga bermanfaat.

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Bosan Hidup"

Seorang pria mendatangi Sang Master, "Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati."

Sang Master tersenyum, "Oh, kamu sakit."

"Tidak Master, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Master meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.


Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." demikian sang Master.

"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." pria itu menolak tawaran sang guru.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?"

"Ya, memang saya sudah bosan hidup."

"Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."

Giliran dia menjadi bingung. Setiap Master yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Yang satu ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh Master edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Begitu rileks, begitu santai!

Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau.

Suasananya santai banget!

Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, "Sayang, aku mencintaimu."

Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi.

Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Sang istripun merasa aneh sekali Selama ini, mungkin aku salah. "Maafkan aku, sayang."

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Boss kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!

Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda.

Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya. Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.

Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu."

Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Pi, maafkan kami semua. Selama ini, Papi selalu stres karena perilaku kami."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?

Ia mendatangi sang Guru lagi.

Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.

Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan."

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!!!

Hidup?

Bukanlah merupakan suatu beban yang harus dipikul?. Tapi merupakan suatu anugrah untuk dinikmati. (Soulfoul - Mulyandi, Soeng -> myquran.com)
Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Merancang Kematian"

Dari Saudaraku yang aku Cintai, : M. Arif As-Salman Rabu (marif_assalman@yahoo.com, www.marifassalman.multiply.com)
------------------------------------------------------------------------
Pernahkah suatu kali kita merancang dan menyiapkan hari kematian kita? Hari dimana setiap insan dan yang bernyawa akan menghadapinya. Saat kita berpindah ke Arrafîq Al-a`la. Apa posisi yang kita dambakan ketika malaikat Izrail datang menjemput? Apa yang telah kita persiapkan untuk dipersembahkan kepada kekasih abadi, Allah Pencipta kita? Apakah kita mempersiapkan hari kematian seperti atau melebihi persiapan kita untuk hari pernikahan?
"Apakah kita takut dengan kematian? (Sama saja) Saya akan mati dengan dibunuh atau kanker. Kita semua menanti, saat akhir kehidupan kita. Tidak ada yang berubah. Apakah berakhir dengan berhentinya dengan detak jantung atau dengan helikopter Apatche. Tapi saya lebih senang mati dengan Apatche…"
Itulah ungkapan jujur dari asy-syahid Dr. Abdul `Aziz Arrantisi sebelum hari dimana serangan udara Yahudi dengan pesawat tempur Apatche berhasil mengarahkan rudalnya tepat mengenai mobil yang beliau tumpangi.
Sekilas ungkapan beliau di atas memberitahukan pada kita, bahwa asy-syahid Arrantisi telah merancang kematiannya hingga akhirnya beliau meraih apa yang beliau cita-citakan tersebut, yaitu mati dengan Apatche.


Jauh ke belakang, para pendahulu kita as-salafus soleh sudah terbiasa melakukan perencanaan kematian. Mereka adalah manusia akhirat, manusia yang hidup untuk akhirat. Setelah gugurnya panglima Islam, Zaid bin Haritsah radhiyallahu `anhu dalam peperangan Mu`tah, bendera yang dipegangnya diambil alih oleh Ja`far radhiyallahu `anhu. Kemudian Ja'far membaca beberapa bait sya`ir :
Wahai manusia! Betapa indahnya surga dan betapa gembiranya orang yang menghampirinya!
Betapa bagusnya benda-benda yang ada di dalamnya dan betapa segar airnya
Telah datang waktunya bagi orang-orang Romawi untuk mendapatkan kehancuran
Dan telah diwajibkan bagiku untuk membinasakan mereka semua.
Setelah membacakan syair di atas, dengan sengaja Ja`far memotong kaki kudanya untuk melenyapkan perasaan ingin meninggalkan medang perang. Sambil memegang bendera yang berkibar di tangannya dan sebilah pedang di tangan sebelahnya, Ja`far terus bergerak maju menyerang tentara musuh. Tangan kanannya yang memegang tiang bendera kemudian dipotong oleh musuh dalam pertempuran tersebut. Ja`far segera mengambil bendera itu dengan tangan kirinya. Ketika tangan kirinya pun dipotong oleh musuh, ia tetap mengibarkan bendera itu dengan didekap di dadanya sambil menggigit tiangnya sekuat tenaga serta dibantu oleh kedua tangannya yang tersisa. Akhirnya tubuh Ja`far dibelah dua oleh musuh dari belakang sehingga ia gugur syahid. Ketika itu ia berusia 33 tahun.
Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu bercerita, "Ketika kami mengangkat jenazah Ja`far keluar dari medan pertempuran, kami mendapati kira-kira ada sembilan puluh luka di tubuhnya dan semuanya di bagian depan."
Kemudian Abdulah bin Rawahah radhiyallahu `anhu segera meraih bendera dan terus berjuang. Pada waktu itu jari-jari tangannya terluka parah dan berlumuran darah hingga bergelantungan hampir putus. Ia pun meletakkan jari-jari tangannya itu di bawah kakinya lalu menarik semuanya hingga benar-benar putus, lalu potongan-potongan jari itu ia lemparkan dan kembali bergerak menghadapi musuh. Dalam keadaan tersebut, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, bahwa tentara Islam sedang berjuang menghadapi tentara musuh yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan tentara Islam yang sangat sedikit, sehingga membuat Abdullah hampir putus asa dan berhenti sejenak. Tapi segera ia tersentak dari lamunannya, seraya berkata dalam hatinya, "Wahai hati! Apa yang menyebabkan kamu berpikir demikian? Apakah karena cinta terhadap istri? Kalau demikian, dia akan aku talak tiga sekarang juga. Apakah karena hamba-hamba sahaya? Kalau demikian aku akan bebaskan mereka semua. Apakah karena kebun-kebun? Kalau begitu aku sedekahkan semuanya di jalan Allah.
Abdullah kemudian membaca beberapa bait syair :
Demi Allah, wahai Abdullah, kamu harus turun
Apakah dengan senang ataupun dengan berat hati
Telah cukup lama kamu hidup dalam ketenangan
Berpikirlah, bahwa pada mulanya kamu berasal dari setetes air mani
Lihatlah, betapa hebatnya orang-orang kafir menyerang tentara Islam, apakah engkau tidak ingin surga?
Walaupun kamu tidak terbunuh dalam pertempuran ini
Ingatlah bahwa suatu hari nanti engkau akan mati juga
Kemudian ia turun dari kudanya, sementara sepupunya telah datang membawa sepotong daging kepadanya seraya berkata, "Makanlah daging ini dan beristirahatlah dulu sebentar."
Ketika Abdullah hendak mengambil daging itu, ia mendengar teriakan musuh dari sudut pertempuran. Kemudian potongan daging itu pun ia lemparkan dan dengan sebilah pedang terhunus di tangannya, Abdullah bergerak masuk ke dalam pasukan musuh dan terus berjuang dengan seluruh kekuatannya yang ada, sampai akhirnya ia pun gugur syahid.
Dalam riwayat lain dikisahkan, seorang Arab Badui bergabung dalam perang Khaibar. Usai pertempuran, Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam membagikan hasil rampasan perang. Ketika bagiannya diberikan oleh Rasulullah, ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apa ini?", "Ini adalah hasil peperangan yang aku sisihkan untukmu", jawab Rasul. "Saya bergabung dengan kafilah jihad engkau bukan karena ini, tapi saya ingin syahid dengan cara tertancap tombak di salah satu sisi leher saya hingga tembus keluar sisi yang lain."
"Jika kamu jujur kepada Allah dengan niat ini, maka niscaya Allah akan menjadikannya kenyataan", balas Rasulullah saw. Kemudian para sahabat kembali berperang.
Seperti biasa usai peperangan, para syuhada dikumpulkan. Dan, seorang Badui tadi ditemukan mati syahid persis seperti yang ia inginkan. Allahu akbar...!
Seperti inilah kehidupan para sahabat radhiyallahu `anhum. Setiap kisah mengenai mereka telah membuktikan betapa tingginya semangat perjuangan mereka, sekaligus membuktikan bahwa dunia beserta segala isinya tidak mempunyai nilai apa-apa dalam pandangan mereka. Tetapi sebaliknya, yang sangat mereka cintai dan dambakan adalah kejayaan di akhirat kelak.
Nah, pernahkah kita berfikir tentang hal ini? Tentang kedudukan kita kelak di akhirat. Pernahkah bayang-bayang itu muncul? Sudah beranikah kita dengan jujur merencanakan kematian seperti mereka? Apa yang telah kita siapkan untuk bertemu dengan Sang Kekasih yang abadi? Adakah perjumpaan dengan Allah menjadi dambaan kita? Apa yang telah kita rancang dan siapkan untuk menyambut hari kematian kita? Apakah kita menginginkan kematian dalam keadaan tengah bersujud pada Allah? Di saat tengah shalat, membaca al-Qur`an, berdakwah, menuntut ilmu, berpuasa, dan lain-lainnya? Ataukah dalam keadaan tunduk dan bersujud pada hawa nafsu, setan, dunia, harta, dan disaat sedang berbuat dosa dan maksiat pada Allah? Wallahul musta`an wa a`lam.

Salam dari Kairo.

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

" Sayuu…ur! "

Seketika ibu-ibu yang enggan pergi ke pasar mengerubungi Mang Sayur. Kalau bahan masakan yang diperlukan tidak banyak, maka menunggu Mang sayur lewat menjadi pilihan.

Seperti biasa, ibu-ibu ribut memilih sayuran dan bahan masakan lainnya di gerobak yang tidak seberapa besarnya. Mang Sayur hanya senyum-senyum saja. Dimatanya, satu ibu-ibu adalah satu sumber rupiah.

Setelah memilih bahan belanja, mulailah tawar menawar harga. Dengan sedikit memaksa, para ibu meminta harga spesial. Susah payah Mang Sayur menerangkan bahwa dirinya hanya mengambil untung sedikit dari tiap-tiap sayuran.

Tapi rupanya kekhawatiran kehilangan pelanggan membuatnya hanya bisa mengiyakan ketika para ibu mengumpulkan belanjaan yang sudah dipilih untuk kemudian membulatkannya ke bilangan yang rendah. "Udah Mang, segini jadi Rp 5.000 aja yah!". Padahal harga asli adalah Rp 5.400.

Sepele memang. Tapi persoalannya tidak jadi sepele jika Mang Sayur mengambil keuntungan itu justru dari tiap ratus rupiah yang dipotong. Tentu saja itu tidak termasuk biaya tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengayuh kereta gerobak mengelilingi rumah-rumah penduduk.

Lain waktu, seorang ibu penjaja gorengan dan kerupuk ringan lewat depan rumah. Ia tengah hamil tua. Tapi subhanallah, kondisi fisiknya tidak mengurangi semangatnya mengais rejeki. Padahal jarak yang ditempuh tidak dekat. Barang bawaanya pun banyak. Yang satu di tanggung di kepala. Lalu keresek besar masing-masing dibawa oleh keduatangannya.

Iseng saya tanya keuntungan yang diperolehnya. Dengan jujur ibu itu menjawab kalau dirinya hanya mengambil seratus rupiah dari tiap bungkusnya. Padahal ia telah memiliki banyak anak dan otomatis membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan keuntungan yang tidak seberapa, masih saja barang dagangannya di tawar.

Fenomena diatas adalah realitas di sekitar kita. Seorang pedagang kecil yang hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa dan kadang tidak mencukupi, harus berhadapan dengan pembeli yang menawar dengan harga sangat rendah. Tapi tentu saja, tawar menawar dalam sebuah transaksi adalah sesuatu yang lazim. Namun bukan konteks aktifitas tawar menawarnya yang menjadi persoalan. Tapi sikap kita sebagai konsumen ketika melakukan tawar menawar.

Dibutuhkan sebuah perenungan ketika disatu sisi dengan tanpa perasaan bersalah menawar harga dengan sangat rendah untuk sebuah dagangan yang dijajakan pedagang kecil dan dalam waktu bersamaan mengambil barang dengan mudahnya ketika berjalan-jalan di Mall tanpa sedikitpun menggugat harga yang tertera di labelnya.

Padahal keuntungan yang didapat sangat jauh berbeda. Bisa jadi, tiap rupiah yang mereka kumpulkan hanya cukup untuk makan dan tidak lebih. Bahkan bisa jadi tidak cukup.

Saya jadi teringat ketika belanja keperluan disebuah supermarket. Saat sedang memilih alat tulis, disebelah saya berdiri seorang bapak dengan sandal jepit dan topi lusuh. Dari rompi yang dikenakannya, saya menduga bapak itu seorang tukang ojek.

Ia tampak lama menimang-nimang satu paket alat tulis. Tampaknya untuk dihadiahkan pada anaknya. Sikapnya yang lama membuat saya berpikir. Saya mengira-ngira kalau harganya yang memang cukup mahal membuatnya ragu-ragu. Harganya itu sebanding dengan beberapa kali bolak balik ngojek Akhirnya, setelah lama ia menimang-nimang, satu paket alat tulis itu disimpannya kembali. Lalu berjalan perlahan meninggalkan counter alat tulis. Mungkin baginya lebih baik membeli segantang beras.

Sangat berbeda dengan sikap kita yang begitu mudahnya mengeluarkan rupiah demi rupiah untuk sesuatu yang tidak penting. Hanya untuk kesenangan belaka.

Saling mengikhlaskan ketika tawar menawar menjadi kunci. Semoga kita bisa bersikap bijak untuk menghargai usaha mereka tanpa perlu menjadi gundah di hati karena tidak berhasil menawar dengan harga paling rendah. Anggaplah itu sebagai shodaqoh. Apalagi mengambil sikap berbelanja ke tempat lain hanya karena beda beberapa ratus rupiah. Terkecuali jika kita memang sama membutuhkannya seperti mereka.(manajemenqolbu.com)
-Moga Bermanfaat dan Ada Hikmahnya-

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Sebuah Renungan"

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya.

Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang Dari mata air ke rumah majikannya, tempayan itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, Karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannnya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, "Saya sunggh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu."
"Kenapa?" Tanya si tukang air.


"Kenapa kamu merasa malu?"
"Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacadku itu, saya telah membuatmu rugi." Kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata, "Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.

Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu. Itu karena aku selalu menyadari akan cacadmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."

Setiap dari kita memiliki cacad dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Namun jika kita mau, Allah akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias Dunia Kita.

Di mata Allah yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita. (myquran.com)
Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Nasruddin Menangisi Raja"

Suatu hari raja jelek, yang buta sebelah dan pincang, yang berteman dengan Mullah, ingin memangkas rambutnya. Tukang cukur pun datang, memangku rambutnya dan seperti biasanya memberinya cermin untuk bisa melihat bagaimana tukang cukur itu merapikan rambutnya yang kusut.

Ketika menengok ke dalam cermin, raja melihat kejelekannya dan mulai menangis. Mullah tidak bisa menahan ibanya, dia pun mulai menangis. Mereka berdua sama-sama menangis agak lama. Orang-orang terdekat di situ mulai menghibur keduanya tanpa mengetahui sedikit pun alasan mereka menangis.

Maka orang jelek itu berhenti menangis, tetapi Mullah tidak. Tidak ada seorang pun yang bisa menolongnya.

Orang jelek yang pertama menangis sangat heran melihat air mata Mullah terus menerus keluar. Dia berkata: "Dengar Mullah! Aku perhatikan ke dalam cermin, dan melihat betapa jeleknya aku, aku menjadi sedih, sebab aku tidak hanya seorang raja, melainkan juga kaya akan wanita. Aku jelek, dan hanya inilah alasan aku menangis. Tapi ... jelaskan kepadaku bagaimana tentang kamu? Kenapa kamu terus-menerus menangis?"

Sambil menengok raja, Mullah Nasruddin menjawab, "Anda melihat ke dalam cermin hanya satu kali, melihat diri Anda dan menangis tidak tertahankan. Namun, apa yang kami bisa lakukan sebagai orang-orang yang harus melihat muka Anda sepanjang hari dan malam? Jika saya tidak menangis, lalu siapa lagi? Inilah alasan saya menangis!"
___________________________________________
Sahabat, Nimatilah hari Ini, Awali Hari dengan ... "Senyum" ... (^_^)
"Tabassamuka liwaz hi ahikalakasodaqotun”. Artinya: Senyummu ke wajah saudaramu adalah sedekah. (HR. Bukhari).
-Dinda Agus Triyana-
-----------------------------------------------------------------
Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Maka Nikmatilah, Karena Ini Pun Akan Berlalu"

Dari Saudaraku,Azimah Rahayu (azi_75@yahoo.com) : di posting di eramuslim.com
---------------------------------------------------------------
Saat di depanmu terhidang nasi sayur tahu tempe, mengapa mesti sibuk berandai-andai dapat makan ikan, daging atau ayam ala resto? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang ada tanpa berkesah, pastilah rasanya tak jauh beda. Karena enak atau tidaknya makanan lebih tergantung kepada rasa lapar dan mau tidaknya kita menerima apa yang ada. Maka nikmatilah, karena jika engkau terus mengharap makanan yang lebih enak, makanan yang ada di depanmu akan basi, padahal belum tentu besok engkau akan mendapatkan yang lebih baik daripada hari ini.

Saat engkau menemui udara pagi ini cerah, langit hari ini biru indah, mengapa sibuk mencemaskan hujan yang tak kunjung datang? Padahal kalau saja kau nikmati adanya tanpa kesah, pastilah kau dapat mengerjakan begitu banyak kegiatan dengan penuh kegembiraan. Maka nikmatilah, jangan malah resah memikirkan hujan yang tak kunjung tumpah. Karena jika kau tak menikmatinya, maka saat tiba masanya hujan menggenangi tanahmu, kau pun kan kembali resah memikirkan kapan hujan berhenti.

Percayalah, semua ini akan berlalu, maka mengapa harus memikirkan sesuatu yang tak ada, namun suatu saat pasti akan hadir jua? Sedang hal itu hanya akan membuat kita kehilangan keindahan hari ini karena mencemaskan sesuatu yang belum pasti.

Saat engkau memiliki sebuah pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, meski tak sesuai dengan yang kau inginkan, mengapa mesti kesal dan membayangkan pekerjaan ideal yang jauh dari jangkauan? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang kau miliki, tentu akan lebih mudah menjalani. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat kau dapatkan apa yang kau inginkan, ternyata tak seindah yang kau bayangkan. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, kau akan menyesal, ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat tak kau nikmati.

Maka nikmatilah, dan jangan habiskan waktumu dengan mengeluh dan menginginkan yang tidak ada. Maka nikmatilah, karena suatu saat, semua ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, jangan sampai kau kehilangan nikmatnya dan hanya mendapatkan getirnya saja. Maka nikmatilah dengan bersyukur dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna. Maka nikmatilah karena ia akan menjadi milikmu apa adanya dan hanya saat ini saja. Sedang besok bisa jadi semua telah berganti.

Jika hari ini engkau menderita, maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu, jangan biarkan dia pergi, kemudian ketika kau harus lebih menderita suatu saat nanti, engkau tidak sanggup menahannya. Maka nikmatilah rasa sedihmu, dengan mengenang kesedihan yang lebih dalam yang pernah kau alami. Dengan membayangkan kesedihan yang lebih memar pada hari akhir nanti jika kau tak dapat melewati kesedihan kali ini.

Dengan menemukan penghapus dosa pada musibah yang kau alami kini. Maka nikmatilah rasa galaumu, dengan betafakkur lebih banyak atas permasalahan yang kau hadapi. Dengan memikirkan kedewasaan yang kan kau gapai atas resah dan galau itu. Dengan kematangan yang akan kau miliki setelah berhasil melewati semua ini. Maka nikmatilah rasa marahmu, dengan kemampuan mengendalikan diri. Dengan memikirkan penggugur dosa yang kan kau dapatkan. Dengan mendapatkan kemenangan atas diri pribadi yang tak semua orang dapat lakukan.

Maka nikmatilah, dengan berpikir positif atas apa pun yang kau jalani, atas apapun yang kau hadapai, atas apapun yang kau terima, karena dengan begitu engkau akan bahagia. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu jua. Maka nikmatilah, karena rasa puas dan syukur atas apa yang telah kita raih akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan. Sedang ketidakpuasan hanya akan melahirkan penderitaan. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, agar engkau tidak kehilangan hikmah dan keindahannya, saat segalanya telah tiada. Maka nikmatilah, agar tak hanya derita yang tersisa saat semua telah berakhir jua.

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Berhenti Menjadi Pengemis"

Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, ku beri, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis baru lah aku berhenti dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian.

Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah, tergantung persediaan.

Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanan di Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah.

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding.

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?"

"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja dan lain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.

***

Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya -dengan tetap membayar- ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya ...
Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

" Sapu Lidi "

Saat itu hari menjelang sore. Di sebuah surau, terlihat seorang lelaki tua bersama beberapa orang anak remaja. "Sekarang Abah mau menerangkan satu hal yang sangat penting dalam hidup kalian," ujar lelaki yang menyebut dirinya Abah tersebut.

"Apa itu teh Abah?" tanya salah seorang anak. "Sebelum menjawab pertanyaan, Abah ingin setiap kalian membawa sebuah sapu lidi," jawab Abah. Anak-anak itu terlihat sedikit bingung dengan apa yang dikatakan Abah, tapi akhirnya mereka pun menuruti keinginan Abah. Masing-masing anak kembali ke rumah untuk mengambil sapu lidi.

"Nah, syukurlah kalian telah memegang sapu lidi," ujar Abah sambil memandangi anak-anak yang berjumlah empat orang tersebut. "Tugas kalian adalah menyapu halaman masjid ini sebersih mungkin. Agus menyapu bagian depan, Apud menyapu bagian kiri, Nana yang bagian kanan, dan Roni bagian belakang," kata Abah dengan rinci. Ia pun melanjutkan, "Abah beri kalian waktu selama tiga puluh menit untuk menyapu, setiap satu menit kalian harus mencabut sebatang lidi, dan setiap sapu harus terdiri dari tiga puluh batang lidi. Siapa yang paling banyak menyapu dan paling cepat, maka ia akan mendapatkan hadiah".

Segera saja keempat anak itu mengerjakan apa yang diperintahkan Abah. Dengan tekun dan gesit mereka menyapu halaman sekitar masjid yang cukup luas. Setiap satu menit Abah menepuk tangan sebagai tanda agar keempat muridnya mencabut sebatang lidi. Begitulah proses tersebut berlangsung. Batangan lidi yang berjumlah tiga puluh tersebut, satu demi satu hilang seiiring berlalunya waktu. Pada hitungan ketiga puluh, kumpulan lidi tersebut habis semua.

Setelah itu Abah memeriksa hasil kerja keempat muridnya. Tenyata hasilnya berbeda-beda. Ada yang mampu menyapu seluruh halaman, ada yang hanya setengah, bahkan ada yang hanya sedikit. Abah hanya tersenyum saja. Sejenak kemudian dia memanggil keempat anak tersebut.

"Anak-anakku, Abah lihat kalian sudah menyapu dan hasilnya pun Abah rasa cukup menggembirakan. Halaman masjid menjadi bersih, walaupun Abah melihat bahwa sebagian dari kalian tidak berhasil membersihkan sampah secara keseluruhan," ungkap Abah.

Setelah semuanya berkumpul, Abah bercerita kembali, "Ketahuilah anakku, bahwa salah satu harta yang Allah berikan kepada manusia adalah waktu. Ia adalah modal terbesar yang harus kita gunakan sebaik-baiknya. Barangsiapa yang mampu memanfaatkannya secara baik, maka ia akan bahagia hidupnya; tapi barangsiapa menyia-nyiakan waktunya maka ia akan sengsara.

"Abah, apa hubungan antara waktu dengan sapu lidi?" tanya seorang muridnya. "Itulah yang akan Abah terangkan kepada kalian," kata Abah. Ia pun melanjutkan petuahnya, "Hidup seorang Muslim itu seperti sapu lidi yang kokoh. Setiap hari satu batang lidi gugur, sampai pada satu saat tidak ada lagi lidi yang tersisa. Jadi lidi ini dapat dianalogikan dengan waktu yang membentuk hidup kita. Kalau kita memboroskannya berarti lidi itu hilang tanpa kita sempat menyapu. Karena itu, menyapulah sebanyak dan sesering mungkin sebelum lidi-lidi itu berguguran. Gunakanlah waktu muda kalian untuk berkarya besar, sebelum datangnya waktu tua saat kalian tidak mampu lagi berbuat apa-apa, sapu-lah dosa - dosa yang berserakan ... sebelum kekuatan untuk melakukannya hilang".
Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

"Nasruddin dan Profesor"

Pada suatu hari, seorang profesor berkunjung ke Desa Hortu. Profesor itu sangat terkenal diseluruh negeri, Konon, dia menguasai berbagai ilmu dengan sempurna. Namun, Nasruddin meragukan hal itu. Dia ingin menguji kehebatan profesor.

Ditemuinya profesor itu, katanya, "Tuan profesor, saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada Tuan. Kalau tuan tidak menjawab, Tuan membayar saya sepuluh dirham. Kemudian Tuan boleh mengajukan satu pertanyaan kepada saya. Kalau saya tidak bisa menjawab, saya akan membayar Tuan satu dirham. Syarat itu cukup adil, mengingat Tuan seorang yang terpelajar dan ahli berbagai hal, sedangkan pendidikan saya tidak setinggi Tuan".

Sang profesor berpikir sejenak, lalu menyetujui usul itu. Nasruddin tersenyum dan mengajukan pertanyaan,.. "Mahluk apakah yang mempunyai tiga kaki?"

Kembali sang Profesor berpikir, kali ini agak lama. Akhirnya dia menyerah. Katanya. "Aku tidak tahu." Lalu, dia memberi uang sepuluh dirham kepada Nasruddin. Orang-orang yang berkerumun menonton pertandingan itupun ikut berpikir, namun mereka tidak bisa menemukan jawabannya.

Selanjutnya Profesor itu bertanya, "Nah, sekarang giliranku bertanya. Makhluk apa yang berkaki tiga?" "Saya pun tidak tahu, Profesor", kata Nasruddin sambil segera menyerahkan kembali uang satu dirham, sedang yang sembilan dirham sesisanya dia masukan kekantongnya.(Syaepulloh Rahmat)

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post

AR RUHUL ISTIJABAH “Semangat Menyambut Panggilan Da’wah”

Bersemangat dalam menyambut panggilan da’wah menunjukkan adanya sebuah keseriusan ( jiddiyah ), dan jiddiyah adalah sebuah karakter dari seorang kader militan. Keimanan seseorang belumlah sempurna kecuali ketika ada sebuah panggilan dari Allah dan rasulNya, segera menyambut panggilan tersebut dengan penuh semangat. Allah mengingatkan dalam Alqurannya :” Hai orang – orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan ( QS Al Anfaal(9) : 24 )
Seorang kader da’wah ketika ada sebuah panggilan dari seorang qiyadahnya (pemimpinya ), maka akan dia sambut dengan kata – kata “sam’an wa tha’atan”(kami dengar dan kami taat )” labaik wa sa’daik ( kami siap melaksanakan perintah dengan senang hati ). Sebuah kisah menjelang perang badar merupakan mutiara hikmah yang indah untuk kita resapi dalam ruhul istijabah ini. Ketika rasul dan para sahabatnya telah keluar dari madinah kemudian rasul ingin mengetahui kesiapan para sahabatnya untuk berperang, mengingat keluarnya para sahabat awalnya hanya untuk menghadang kafilah dagang. Rasul bermusyawarah tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Dari kalangan Muhajirin Abu Bakar dan Umar bin Khattab menyambut baik untuk terus maju ke medan pertempuran, sedangkan Miqdad bin ‘Amru mengatakan: “ Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan bani israil kepada Musa yaitu “ pergilah kamu bersama Rabbmu, kami tetap duduk disini.” Tetapi yang kami katakan disini adalah “ Pergilah kamu bersama Rabmu dan berperanglah, kami ikut bersamamu” Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad ( Yaman ) pasti kami tetap mengikutimu sampai kesana.

Setelah sahabat Muhajirin, sahabat Anshar yang diwakili Sa’ad Bin Muadz menyampaikan sikapnya:”kami telah beriman kepadamu dan kami bersaksi bahwa apa yang kamu bawa adalah benar, atas dasar itu, kami telah menyatakan janji untuk senantiasa ta’at dan setia kepadmu. Wahai rasulullah, lakukanlah apa yang kau kehendaki, kami tetap bersamamu. Tidak ada seorangpun dari kami yang mundur dan kami tidak akan bersedih jika kamu menghadapkan kami dengan musuh besok pagi. Kami akan tabah menghadapi peperangan dan kami tidak akan lari. Marilah kita berangkat ilaihi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Sa’ad berkata,” barangkali kamu khawatir bahwa kaum Anshar memandang bahwa mereka wajib menolong kamu hanya di negeri mereka. Saya sebagai wakil kaum anshar menyatakan, jalankanlah apa yang kau kehendaki dan putuskanlah tali persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki. Ambillah harta benda kami sebanyak yang kamu perlukan dan tinggalkanlah untuk kami seberapa saja yang kamu sukai, apa saya yang anda ambil itu lebih kami sukai daripada yang Anda tinggalkan. Demi Allah jika kamu berangkat sampai ke Barkul Ghimad, kami akan berangkat bersamamu, demi Allah seandainya kamu menghadapkan kami pada lautan kemudian kamu terjun kedalamnya maka kami akan terjun kedalamnya bersamamu ( Rakhikul Makhtum 285 – 286 ). Hasan Al Banna berkata,” da’wah pada tahap pembinaan ( takwin ) shufi di sisi ruhiyah dan askari ( kedisiplinan ) dari sisi amaliyah ( operasional ), sloganya adalah amrun wa thaatun ( perintah dan laksanakan ) tanpa ada rasa bimbang, ragu, komentar, dan rasa berat. ( risalah pergerakan 2 ).
Itulah prinsip ruhul istijabah, ketika ada sebuah seruan da’wah, panggilan dari seorang qa’id, sikap seorang kader adalah sigap menerima panggilan itu, tanpa banyak komentar, tanpa banyak bertanya, dan tanpa bermalas – malasan dan bersantai – santai.
Empat Aspek Ruhul Istijabah

Istijabah Fikriyah ( menyambut dengan pikiran/dengan sadar )
Kader da’wah ketika mendapat tugas dari murobbiy, pembina maupun qiyadah harus sadar bahwa apa yang dikerjakanya tersebut adalah dalam rangka ketatannya kepada Allah dan meraih ridhonya, bila dikerjakan mendapat pahala dan bila tidak dilakukan akan berdosa. Demi terlaksananya tugas secara maksimal, seorang kader selalu memikirkan bagaimana cara melaksanakan tugas itu dengan baik, memperhatikan waktu, cara, dan sarana yang tepat sehingga tugas itu dapat terlaksana sesuai yang telah ditetapkan.Bahkan seorang kader dapat menyampaikan saran – saran sebagaimana dilakukan oleh para sahabat kepada Rasulullah. Usulan Salman Al Farisi dalam perang khandaq, usulan Habab bin Al-Mundzir dalam perang badar dan lainya. Dalam perang Qadisiyah, dikisahkan bahwa pasukan kuda kaum muslimin berhadapan dengan tentara gajah pasukan persia. Kuda – kuda kaum muslimin selalu ketakutan karena belum pernah berhadapan dengan gajah. Akhirnya sahabat Qoqo’ bin Amir mempunyai ide membuat patung – patung gajah dan dihadapkan pada kuda – kuda muslimin. Setelah kuda – kuda tersebut terbiasa dengan patung gajah, maka ketika berhadapan dengan gajah – gajah persia, kuda tersebut tidak takut lagi dan akhirnya kaum muslimin meraih kemenangan. Dalam surat Ar Ra’ad ayat 19 Allah mengingatkan keistimewaan orang – orang yang mengoptimalkan akalnya, “ apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar, sama dengan orang yang buta ( tidak menggunakan akalnya ). Hanya orang – orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajar.”
Istijabah Nafsiyah ( menyambut dengan perasaan )
Para aktivis dan kader da’wah apabila mendapat tugas dan perintah, baik tarbawi, da’awi, maupun tandzimi harus menyambutnya dengan perasaan senang, gembira, bahagia dan bersemangat untuk melaksanakan. Janganlah perintah itu disambut dan dilaksanakan dengan rasa malas, berat, enggan, dan tidak bergairah. Dalam kondisi apapun kita, seruan itu harus kita penuhi dengan semangat. “ berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan atau berat ......( QS At Taubah : 41 )
Para kader yang dibina oleh rasulullah ketika mendapat panggilan jihad dari rasul, mereka berlomba – lomba melaksanakanya. Kelemahan fisik tidak menjadi alasan untuk tidak berangkat, bahkan mereka menangis ketika mereka tidak dapat pergi berperang karena uzur dengan kemiskinannya tidak memiliki kendaraan ( QS At Taubah : 92 ).
Itulah sosok aktivis, perintah, panggilan, seruan dari murobbiy, qiyadah, pemimpin disambut dan dilaksanakan dengan penuh suka cita, riang gembira dan bahagia dan ketika ada uzur, mereka bersedih hati.

Istijabah Maaliyah ( menyambut dengan harta )
Da’wah untuk menegakkan dinul islam ini adalah sebuah kerja besar, oleh karena itu juga diperlukan dana yang tidak sedikit. Para aktivis da’wah selayaknya tidak pelit dalam hartanya. Kepentingan da’wah ini adalah kepentingan yang sangat mulia.
Hikmah yang sangat fenomenal adalah kisah perang tabuk. Kaum muslimin berlomba – lomba menginfakkan hartanya dan bershodaqoh. Usman bin Affan sebelumnya telah menyiapkan kafilah dagang yang akan berangkat ke Syam berupa dua ratus ekor onta lengkap dengan pelana serta barang – barang yang berada diatasnya, beserta dua ratus uqiyyah. Setelah mendengar pengumuman Rasul, Usman datang dan menshadaqohkan semua itu. Kemudian usman menambah lagi seratus ekor onta dengan pelana dan perlengkapanya. Kemudian datang lagi membawa seribu dinar dan diletakkan di pangkuan Rasul. Usman terus menambah shodaqohnya hingga mencapai sembilan ratus ekor onta dan seratus ekor kuda, belum termasuk uang. Kemudian datang Abdurrahman bin Auf dengan dua ratus uqiyyah perak. Abu Bakar datang dengan seluruh hartanya mencapai empat ribu dirham. Sahabat – sahabat lainya juga datang, Umar, Thalhah, Sa’ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah. Sampai – sampai ada yang bersedekah dengan segenggam atau dua genggam kurma. Tidak ada yang kikir kecuali orang – orang munafik :” orang – orang munafik yang mencela orang mu’min yang memberi shodaqoh dengan sukarela, dan mereka pun menghina orang – orang yang tidak memperolah apa yang disedekahkan selain kadar kesanggupanya” ( QS At Taubah : 79 )

Istijabah Harakiyah ( Menyambut dengan aktivitas )
Aktivis da’wah adalah orang yang aktif dalam kegiatan da’wah, selalu hadir dalam setiap aksi – aksi da’wah, bahkan berusaha untuk menjadi garda terdepan dalam mempertahankan dan membela islam. Tugas – tugas kita adalh sangat banyak, pertama adalah tugas tarbiyah, untuk peningkatan kualitas dan mutu kader, kemudian tugas da’wah, untuk penyebaran fikrah kita, dan ketiga adalh tugas tandzimiyah, untuk amal jama’i semakin kokoh.
Para sahabat rasul tidak pernah berhenti berjihad di jalan Allah. Sebagian ahli sejarah mencatat ada seratus kali berperang dalam sepuluh tahun, baik itu dipimpin rasul maupun dipimpin sahabat. Sehingga jika dirata – rata, perang terjadi sebulan sekali.
Dengan aktivitas da’wah saat ini yang saat tinggi, menuntut kesungguhan dan keseriusan serta mobilitas da’wah dan jihad yang tinggi. Jika tidak maka kekuatan batil yang akan berkuasa di bumi ini.
Khatimah
Ikhwah Fillah, sudahkah pikiran kita terkonsentrasikan dan terfokuskan untuk memkirkan umat, memikirkan cara yang efektif dalam berda’wah. Sudahkah kita menyumbangkan ide – ide kita untuk kepentingan da’wah ini.
Sudahkah kita merasa gembira, senang, dan bahagia manakala kita mendengar perintah, menerima tugas dan mendapat amanah da’wah. Atau sebegitu sering kita tidak menyambut seruan – seruan dan perintah dari murobbiy dan qiyadah kita??
Sudahkah kita mengeluarkan rizki kita untuk kepantingan da’wah? Sudahkah kita berazzam untuk menginfakkan harta kita di jalan Allah?
Ikhwah Fillah, betulkah kita sebagai aktivis da’wah, apa buktinya?? Apa kontribusi riil kita untuk da’wah ini? Apa prestasi da’wah kita selama ini? Sudahkah kita menjadikan menjadikan waktu, kerja, profesi, dan seluruh aktivitas kita sebagai kegiatan da’wah ?
Ikhwan dan Akhwat Fillah, keimanan kita baru diakui oleh Allah apabila ada ruhul istijabah pada diri kita, dan baru akan sempurna iman kita jika aspek – aspek istijabah itu telah terpenuhi. Mari kita senantiasa sigap dalam menghadapi tugas – tugas da’wah kita.

Selengkapnya 0 komentar | Diposting oleh Kang Dinda edit post
Postingan Lebih Baru Beranda

izzatul jannah

  • Tentang Blog Ini
      About me. Edit this in the options panel.
  • Labels

    • Kisah Penuh Hikmah (14)

    Kisah di Blog Ini

    • ▼ 2009 (14)
      • ▼ Oktober (14)
        • "Kisah Indah Sang Khalifah"
        • "Sandal Jepit dan Peci"
        • (Cuma) Sekantong Gorengan ...
        • "Hidup Bagai Dikejar Seekor Singa"
        • "Bosan Hidup"
        • "Merancang Kematian"
        • " Sayuu…ur! "
        • "Sebuah Renungan"
        • "Nasruddin Menangisi Raja"
        • "Maka Nikmatilah, Karena Ini Pun Akan Berlalu"
        • "Berhenti Menjadi Pengemis"
        • " Sapu Lidi "
        • "Nasruddin dan Profesor"
        • AR RUHUL ISTIJABAH “Semangat Menyambut Panggilan ...
  • Cari






    • Home
    • Posts RSS
    • Comments RSS
    • Edit

    © Copyright Ar Ruhul Istijabah. All rights reserved.
    Designed by FTL Blogger Themes | Bloggerized by FalconHive.com
    brought to you by Smashing Magazine

    Kembali